Semarang: Lantunan tembang iring-iringan
dan riuhnya senggak-senggok yang dibawakan panjak hore di tengah pertunjukan
Sandur selalu menjadi ritual yang wajib didendangkan. Sandur itu sendiri
adalah salah satu kesenian asli dari daerah Bojonegoro, Jawa Timur yang
ditampilkan oleh 5 lakon pakem, antara lain Germo, Cawik, Balong, Pethak, dan
Wak Tangsil.
|
Biasanya pertunjukan ini diawali dengan
tarian Jaranan dan di akhiri dengan atraksi Kalongking. Seni pertunjukan
Sandur merupakan perpaduan antara tari dan teater tradisional yang sederhana.
Hal ini dapat diketahui dari bentuk pementasannya yang hanya dilakukan di
tanah lapang dan hanya memakai lampu penerangan dari obor.
Sekitar tahun 1960-an kesenian ini
mengalami kemajuan yang sangat pesat, hampir di setiap desa di kecamatan kota
Bojonegoro memiliki kelompok kesenian Sandur. Kemudian pada 1965 setelah meletusnya
peristiwa G 30 S/PKI kesenian Sandur mengalami kemunduran yang sangat
drastis. Hal ini disebabkan Sandur dicurigai telah disusupi oleh Lembaga
Kesenian Rakyat (Organisasi massa milik PKI). Situasi politik pada saat itu
membuat kesenian Sandur terpojok dan mengalami kemunduran.
Masyarakat pendukungnya pun menjadi
antipati terhadap kesenian tersebut. Hingga pada1978 kesenian ini muncul
kembali, dan baru pada 1993 Sandur mulai dipentaskan kembali pada festival
kesenian rakyat berkat usaha dari seniman setempat bekerja sama dengan
Departemen Penerangan dan Dinas Pendidikan dan Kebudayan.
Kesenian Sandur sudah cukup dikenal di
kalangan masyarakat Bojonegoro sendiri, terbukti dengan adanya pentas yang
digelar di beberapa wilayah Kabupaten Bojonegoro. Mirisnya sekarang ini untuk
mencari generasi muda yang tertarik berkecimpung untuk melestarikan
keseniannya tidak banyak. Sanggar Kembang Desa yang merupakan salah satu
wadah apresiasi yang bergerak dalam bidang kesenian Bojonegoro berusaha
memperkenalkan dan melestarikan kesenian Sandur kepada masyarakat umum
sebagai salah satu warisan budaya lokal.
Kembang Desa juga mengaku merangkul
beberapa ekstrakulikuler teater sekolah untuk menggandeng mereka melestarikan
kesenian Sandur. Pendiri Kembang Desa dan pembina teater Lorong Putih
Bojonegoro Masnun, Minggu (24/11/2013) mengatakan, mereka sedang berencana
melatih anak muda Bojonegoro dalam kesenian Sandur. "Kami ingin
memperkenalkan warisan budaya Bojonegoro agar bisa dikenal banyak
orang," katanya.
Ekstrakulikuler teater Lorong Putih dari SMAN 1 Bojonegoro yang dirangkul untuk tampil dalam beberapa pentas Sandur, tampak berantusias dalam berlangsungnya proses latihan. Naskah yang mereka pentaskan tidak berbobot, namun lebih mengangkat polemik sehari-hari yang ringan tanpa menghilangkan unsur budaya dan tradisinya. Hasil proses latihan nampaknya berbuah manis bagi para lakon. Terbukti mereka sudah beberapa kali pentas dan awal bulan November kemarin mereka baru saja rampung pentas di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Agatha Ega, siswi SMAN 1 Bojonegoro
mengaku bangga telah menjadi salah satu generasi muda yang berkesempatan
mengenalkan kesenian Sandur. "Bangga sekali. Apalagi ketika
memperkenalkan Sandur pada masyarakat umum yang masih buta akan kesenian
daerahnya. Bangga juga karena berhasil mengimprofisasi kesenian daerah yang
dianggap kuno menjadi hiburan yang dapat beriringan dengan perkembangan zaman
dan minat masyarakat dewasa tanpa menggerus nilai-nilai luhur dan tradisi
yang terkandung di dalamnya," katanya.
Hingga sekarang Agatha sendiri dan teman-teman sanggar berupaya menumbuhkan kecintaan Sandur dan kesenian-kesenian lokal pada masyarakat Bojonegoro. Harapannya mereka dapat memperkenalkan dan membanggakan keseniannya sendiri di daerah lain. "Sandur itu seperti intan yang perlu digali dari memori sejarah masa lalu Bojonegoro agar kembali berkilau. Kitalah para generasi muda yang berkewajiban menggali dan mengasahnya. Akan sangat disayangkan jika kesenian seunik ini tidak dilestarikan sebagai kearifan lokal dan kebanggan Bojonegoro," ujarnya. |
0 komentar:
Posting Komentar