Meski
sudah akan menjelang musim penghujan, berbagai dampak musim kering
masih dirasakan di beberapa tempat di Indonesia. Variasi situasi ini,
karena lebarnya rentang geografis Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Menurut
Dirjen Sumber Daya Alam (SDA) Kementrian Pekerjaan Umum (PU),
kekeringan di Indonesia terjadi karena perubahan iklim, hal ini
mengakibatkan hujan hanya sebentar. Jadi meski curah hujan nya sama
namun distribusinya yang berbeda, sehingga di beberapa tempat mengalami
kekeringan namun di tempat yang lain mengalami banjir.
Keterlambatan
musim hujan terjadi di 38% wilayah Indonesia. Menurut Kepala Badan
Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) keterlambatan musim hujan
terjadi maksimal 1 bulan. Untuk tahun ini keterlambatan musim hujan
terjadi hingga bulan Desember. Hal ini disebabkan karena pengaruh El
Nino. Ketika fenomena ini terjadi tekanan udara diatas Indonesia
meningkat dan tekanan udara di Amerika Selatan menurun, sehingga uap air
diatas Indonesia ditarik ke Amerika Selatan. Sebenarnya El Nino ini
bukan satu-satunya penyebab perubahan iklim di Indonesia, masih ada
pengaruh yang lain diantaranya adalah suhu permukaan laut di Indonesia
dan pergeseran suhu Samudera Hindia. Namun kedua pengaruh ini masih
dalam ambang batas normal.
Kemarau
yang berberkepanjangan mengakibatkan lahan pertanian terancam puso,
krisis air bersih , pasokan listrik berkurang, kebakaran hutan dan
lain-lain. Di Sumatera Selatan tanaman padi seluas 400 ha lebih terancam
puso. Untuk meminimalkan dampak puso ini dilakukan pompanisasi, seperti
yang terjadi di Kabupaten Ogan, Komering Ulu Timur, Lahat dan
Pagaralam. Sedangkan untuk di Jawa Barat hingga bulan Agustus lahan
pertanian yang mengalami kekeringan mencapai 50.000 ha. Kondisi paling
parah adalah Indramayu lahan yang mengalami kekeringan mencapai 15.000
ha. Disusul Sukabumi dan Ciamis. Akan tetapi dari 50.000 ha lahan
pertanian yang mengalami kekeringan hanya 20 % atau 10.000 ha yang
terkena kasus puso. Banyak petani penggarap yang alih usaha menjadi
pedagang, buruh bangunan, tukang ojek dan pemulung guna memenuhi
kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Ditjen SDA Kementrian PU berupaya
mengatasi kekeringan dengan cara mengoptimalisasikan operasional waduk
yang ada,selain itu pemanfaatan kembali saluran drainase dan air sawah
yang terbuang.
Dampak
dari kemarau berkepanjangan yang lainnya adalah krisis air bersih. Di
Boyolali warga yang kekurangan air bersih mereka memanfaatkan air
rembesan sungai. Akan tetapi kepala dinas kesehatan Boyolali menghimbau
masyarakat untuk tidak memanfaatkan air tersebut karena warga akan
terkontaminasi bakteri E.coli atau logam berat karena konsentrasi
tinggi. Masyarakat di hilir sungai Cisadane, Sepatan Timur, Kabupaten
Tangerang yang mengalami penyusutan debit air yang tajam; bertahan hidup
dengan mengkonsumsi limbah pabrik yang umumnya mengandung zat kimia
yang berbahaya dan baunya dapat mengakibatkan penyakit infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA). Di Pandeglang air PDAM yang dikonsumsi warga
berasa asin,karena penurunan debit air sungai sehingga air laut masuk ke
sungai. Di Jakarta juga terjadi penurunan pasokan air baku dari Kanal
Tarum Barat, Jatiluhur sehingga mempengaruhi produksi air bersih secara
keseluruhan.
Pasokan
listrik yang berkurang juga menjadi akibat dari kemarau yang panjang.
Berkurangnya pasokan listrik terjadi karena stok air di semua waduk
menyusut tajam. Sejumlah pembangkit listirk tenaga air (PLTA) terpaksa
berhenti untuk beroperasi. Di Jawa Tengah terdapat 12 PLTA namun hanya
5 PLTA yang masih beroperasi. Ke-12 PLTA tersebut menghasilkan listrik
299,4 megawatt (MW) namun di musim kemarau ini dari PLTA yang
beroperasi hanya menghasilkan 88,4 MW. Meski demikian berkurangnya
pasokan listrik dari PLTA di Jawa Tengah tidak mengganggu pasokan
listrik Jawa, Madura dan Bali karena hanya difungsikan sebagai penopang
saat kebutuhan listrik melonjak.
Selain
itu kebakaran hutan juga terjadi karena kemarau yang berkepanjangan.
Data dari BMKG menyebutkan terjadi peningkatan jumlah titik api (hot spot) di Sumatera dan Kalimantan. Di Sumatera tercatat 260 hot spot, Kalimantan Tengah 500 hot spot dan Kalimantan Barat 1.129 hot spot.
Di Jambi terjadi kebakaran lahan dan hutan meskipun sudah terjadi 2
kali hujan mengguyur wilayah ini. Sedangkan di Bengkulu terjadi
kebakaran di lahan perkebunan sawit , belasan hektar milik warga desa
Lubuk Sahung, kecamatan Air Periukan terbakar. Akibatnya para petani
rugi ratusan juta rupiah sebab sawit-sawit itu sudah mulai dipanen.
Kebakaran hutan menyebabkan kabut asap yang tebal sehingga mengakibatkan
gangguan pernafasan bagi penduduk sekitar dan telah mencapai level
mengganggu penerbangan di bandara Sultan Thaha Jambi.
Pemerintah
terus berupaya untuk mengatasi kekeringan yang berkepanjangan ini.
Kementrian Pertanian menjanjikan dalam penanggulangan puso (gagal panen)
akan memberikan bantuan yakni Rp3,7 juta per hektare. Dari jumlah
tersebut, Rp2,6 juta untuk bantuan biaya pengolahan lahan dan Rp1,1 juta
untuk bantuan pupuk.
Untuk
penanggulangan terhadap krisis air bersih di berbagai daerah, Bandan
Penanggulangan Bencana Nasional (BPBN) memprioritaskan penanganan
bencana kekeringan di sembilan provinsi seperti Lampung, Banten, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB)
dan Papua Barat dengan mengalokasikan anggaran sebesar sekitar Rp60
miliar.
Penanganan
tanggap darurat bencana kekeringan di berbagai daerah dilakukan dalam
bentuk distribusi air bersih melalui mobil tangki, penyediaan pompa air,
pembuatan sumur bor, hujan buatan, pembangunan embung dan reservoar
(bak penampung air) serta pengaturan pemberian air untuk pertanian
dengan sistem gilir giring.
Sedangkan
untuk penangguangan kebakaran hutan di Jambi,dilakukan antara lain
dengan hujan buatan yang menelan dana dari pemerintah pusat sebesar Rp
3,5 miliar. Tim pelaksana hujan buatan yang terdiri dari pemerintah
daerah dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan Pengkajian
Penerapan Teknologi serta TNI AD, membuat hujan buatan di salah satu
kabupaten, tapi titik panas muncul di kabupaten lain. sehingga tujuan
melakukan hujan buatan menjadi kurang membuahkan hasil, terbukti titik
panas kian banyak dan asap tetap menyelimuti daerah ini.
Kekeringan
adalah bencana yang rutin. Pemecahan masalah terkait banyak pihak
karena menyangkut penanganan kerusakan lahan, pengelolaan DAS,
pengelolaan sumber daya air dan sebagainya. Harus ada pendekatan
rekreatif untuk mengatasi hal ini. Selain dengan mempelajari iklim,
pemahaman akan informasi meteorologi dan geofisika oleh masyarakat
secara luas, juga perlu memakai secara sederhana tentang neraca air;
sehingga petani juga dapat melakukan pengelolaan penggunaan air untuk
tanamannya (water management at farm le
vel).
0 komentar:
Posting Komentar