Sabtu, 09 November 2013

Berbagai Dampak Kekeringan

Meski sudah akan menjelang musim penghujan, berbagai dampak musim kering masih dirasakan di beberapa tempat di Indonesia. Variasi situasi ini, karena lebarnya rentang geografis Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Menurut Dirjen Sumber Daya Alam (SDA) Kementrian Pekerjaan Umum (PU), kekeringan di Indonesia terjadi karena perubahan iklim, hal ini mengakibatkan hujan hanya sebentar. Jadi meski curah hujan nya sama namun distribusinya yang berbeda, sehingga di beberapa tempat mengalami kekeringan namun di tempat yang lain mengalami banjir.
Keterlambatan musim hujan terjadi di 38% wilayah Indonesia. Menurut Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) keterlambatan musim hujan terjadi maksimal 1 bulan. Untuk tahun ini keterlambatan musim hujan terjadi hingga bulan Desember. Hal ini disebabkan karena pengaruh El Nino. Ketika fenomena ini terjadi tekanan udara diatas Indonesia meningkat dan tekanan udara di Amerika Selatan menurun, sehingga uap air diatas Indonesia ditarik ke Amerika Selatan. Sebenarnya El Nino ini bukan satu-satunya penyebab perubahan iklim di Indonesia, masih ada pengaruh yang lain diantaranya adalah suhu permukaan laut di Indonesia dan pergeseran suhu Samudera Hindia. Namun kedua pengaruh ini masih dalam ambang batas normal.
Kemarau yang berberkepanjangan mengakibatkan lahan pertanian terancam puso, krisis air bersih , pasokan listrik berkurang, kebakaran hutan dan lain-lain. Di Sumatera Selatan tanaman padi seluas 400 ha lebih terancam puso. Untuk meminimalkan dampak puso ini dilakukan pompanisasi, seperti yang terjadi di Kabupaten Ogan, Komering Ulu Timur, Lahat dan Pagaralam. Sedangkan untuk di Jawa Barat hingga bulan Agustus lahan pertanian yang mengalami kekeringan mencapai 50.000 ha. Kondisi paling parah adalah Indramayu lahan yang mengalami kekeringan mencapai 15.000 ha. Disusul Sukabumi dan Ciamis. Akan tetapi dari 50.000 ha lahan pertanian yang mengalami kekeringan hanya 20 % atau 10.000 ha yang terkena kasus puso. Banyak petani penggarap yang alih usaha menjadi pedagang, buruh bangunan, tukang ojek dan pemulung guna memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Ditjen SDA Kementrian PU berupaya mengatasi kekeringan dengan cara mengoptimalisasikan operasional waduk yang ada,selain itu pemanfaatan kembali saluran drainase dan air sawah yang terbuang.
Dampak dari kemarau berkepanjangan yang lainnya adalah krisis air bersih. Di Boyolali warga yang kekurangan air bersih mereka memanfaatkan air rembesan sungai. Akan tetapi kepala dinas kesehatan Boyolali menghimbau masyarakat untuk tidak memanfaatkan air tersebut karena warga akan terkontaminasi bakteri E.coli atau logam berat karena konsentrasi tinggi. Masyarakat di hilir sungai Cisadane, Sepatan Timur, Kabupaten Tangerang yang mengalami penyusutan debit air yang tajam; bertahan hidup dengan mengkonsumsi limbah pabrik yang umumnya mengandung zat kimia yang berbahaya dan baunya dapat mengakibatkan penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Di Pandeglang air PDAM yang dikonsumsi warga berasa asin,karena penurunan debit air sungai sehingga air laut masuk ke sungai. Di Jakarta juga terjadi penurunan pasokan air baku dari Kanal Tarum Barat, Jatiluhur sehingga mempengaruhi produksi air bersih secara keseluruhan.
Pasokan listrik yang berkurang juga menjadi akibat dari kemarau yang panjang. Berkurangnya pasokan listrik terjadi karena stok air di semua waduk menyusut tajam. Sejumlah pembangkit listirk tenaga air (PLTA) terpaksa berhenti untuk beroperasi. Di Jawa Tengah terdapat 12 PLTA namun hanya 5 PLTA yang masih beroperasi. Ke-12 PLTA tersebut menghasilkan listrik 299,4 megawatt (MW) namun di musim kemarau ini dari PLTA yang beroperasi hanya menghasilkan 88,4 MW. Meski demikian berkurangnya pasokan listrik dari PLTA di Jawa Tengah tidak mengganggu pasokan listrik Jawa, Madura dan Bali karena hanya difungsikan sebagai penopang saat kebutuhan listrik melonjak.
Selain itu kebakaran hutan juga terjadi karena kemarau yang berkepanjangan. Data dari BMKG menyebutkan terjadi peningkatan jumlah titik api (hot spot) di Sumatera dan Kalimantan. Di Sumatera tercatat 260 hot spot, Kalimantan Tengah 500 hot spot dan Kalimantan Barat 1.129 hot spot. Di Jambi terjadi kebakaran lahan dan hutan meskipun sudah terjadi 2 kali hujan mengguyur wilayah ini. Sedangkan di Bengkulu terjadi kebakaran di lahan perkebunan sawit , belasan hektar milik warga desa Lubuk Sahung, kecamatan Air Periukan terbakar. Akibatnya para petani rugi ratusan juta rupiah sebab sawit-sawit itu sudah mulai dipanen. Kebakaran hutan menyebabkan kabut asap yang tebal sehingga mengakibatkan gangguan pernafasan bagi penduduk sekitar dan telah mencapai level mengganggu penerbangan di bandara Sultan Thaha Jambi.
Pemerintah terus berupaya untuk mengatasi kekeringan yang berkepanjangan ini. Kementrian Pertanian menjanjikan dalam penanggulangan puso (gagal panen) akan memberikan bantuan yakni Rp3,7 juta per hektare. Dari jumlah tersebut, Rp2,6 juta untuk bantuan biaya pengolahan lahan dan Rp1,1 juta untuk bantuan pupuk.
Untuk penanggulangan terhadap krisis air bersih di berbagai daerah, Bandan Penanggulangan Bencana Nasional (BPBN) memprioritaskan penanganan bencana kekeringan di sembilan provinsi seperti Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Papua Barat dengan mengalokasikan anggaran sebesar sekitar Rp60 miliar.
Penanganan tanggap darurat bencana kekeringan di berbagai daerah dilakukan dalam bentuk distribusi air bersih melalui mobil tangki, penyediaan pompa air, pembuatan sumur bor, hujan buatan, pembangunan embung dan reservoar (bak penampung air) serta pengaturan pemberian air untuk pertanian dengan sistem gilir giring.
Sedangkan untuk penangguangan kebakaran hutan di Jambi,dilakukan antara lain dengan hujan buatan yang menelan dana dari pemerintah pusat sebesar Rp 3,5 miliar. Tim pelaksana hujan buatan yang terdiri dari pemerintah daerah dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan Pengkajian Penerapan Teknologi serta TNI AD, membuat hujan buatan di salah satu kabupaten, tapi titik panas muncul di kabupaten lain. sehingga tujuan melakukan hujan buatan menjadi kurang membuahkan hasil, terbukti titik panas kian banyak dan asap tetap menyelimuti daerah ini.
Kekeringan adalah bencana yang rutin. Pemecahan masalah terkait banyak pihak karena menyangkut penanganan kerusakan lahan, pengelolaan DAS, pengelolaan sumber daya air dan sebagainya. Harus ada pendekatan rekreatif untuk mengatasi hal ini. Selain dengan mempelajari iklim, pemahaman akan informasi meteorologi dan geofisika oleh masyarakat secara luas, juga perlu memakai secara sederhana tentang neraca air; sehingga petani juga dapat melakukan pengelolaan penggunaan air untuk tanamannya (water management at farm le
vel).

0 komentar:

Posting Komentar